Sebagai sumber makanan pokok masyarakat Indonesia hasil produksi padi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan perekonomian masyarakat Indonesia. Banyak hal yang dapat mempengaruhi terganggunya hasil produksi padi, salah satunya adalah penyakit tanaman padi.
Berikut 8 penyakit padi yang sering ditemui di Indonesia:
Pada tahun 1913 penyakit ini bersama-sama dengan bercak coklat banyak timbul di persemaian di daerah Surabaya dan Madura, meskipun tidak menimbulkan kerugian yang besar. Blas penyakit dengan gejala yang mirip dengan pertanaman yang ditiup dengan udara panas. Penyakit ini berbeda dengan penyakit bercak coklat (Drechslera oryzae), blas lebih banyak terdapat di pertanaman yang subur, oleh karena itu penyakit ini sering dianggap sebagai penyakit orang kaya, dengan makin meningkatnya intensifikasi pertanian di Indonesia, kerugian karena blas juga makin meningkat (Semangun, 1990).
Blas dikenal di semua negara penanam padi dan dianggap sebagai penyakit yang paling penting. Di negara China penyakit dikenal sejak abad ke -17, sedang di Jepang pada abad ke-18 (Semangun, 1990).
Pernyakit bercak coklat merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi di Indonesia maupun di negara lain. Penyakit di bawah kondisi lingkungan yang menguntungkan dapat menurunkan hasil mencapai 16-40% (Datnoff dan Lentini, 2003)
Penyakit juga menyebabkan hawar pada bibit, yang ditumbuhkan dari benih yang diinfeksi berat, dan dapat menyebabkan kematian 10-58% bibit. Penyakit ini juga dapat mempengaruhi kualitas dan jumlah biji per malai dan menurunkan berat biji (Datnoff dan Lentini, 2003).
Penyakit bercak coklat sempit telah dilaporkan menyebabkan kehilangan hasil sampai 40% di beberapa negara. Penyakit ini pertama kali di temukan di Jawa oleh Raciborski (1900). Di Indonesia penyakit ini tidak menimbulkan kerugian yang berarti. (Sudarma, 2013)
Penyakit ini banyak ditemukan pada tanaman padi tetapi secara ekonomi penyakit ini kurang penting di Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi gabah berisi pada setiap malai, dan secara parsial mempengaruhi panjang malai dan persen kehampaan, tetapi tidak mempengaruhi berat 100 biji (Semangun, 1991). Penyakit ini disebabkan oleh pathogen tular tanah (Rhizoctonia solani) dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 25%. (Sudarma, 2013)
Penyakit hawar daun padi meningkatkan perhatian untuk produksi padi khususnya dalam sistem produksi yang intensif. Penelitian di International Rice Research Institute (IRRI) menunjukan bahwa penyakit hawar upih daun menyebabkan kehilangan 6% di daerah tropis.
Penyakit ini terdapat di semua negara penanam padi, termasuk Indonesia. Penyakit ini sering juga disebut sebagai “Jamur Parah”. Adanya penyakit ini di Jawa untuk pertama kali di tulis oleh Raciborski (1900). Pada umumnya penyakit ini tidak menimbulkan kerugian yang berarti, bahkan dahulu banyak petani di Jawa maupun negara lainnya berpendapat bahwa timbulnya penyakit ini merupakan pertanda bahwa panenan yang akan dating akan memberikan hasil yang baik.
Penyakit ini dapat menurunkan kualitas benih maupun hasil padi. Jamur pathogen menghasilkan ustiloxin, yang beracun terhadap binatang. Fakta kecil menunjukan bahwa penyakit ini dihubungkan dengan penananman galur hybrid (contoh Reddy dan Savary); tetapi hubungan keduanya perlu penelitian lebih lanjut. Galur induk padi hibrida memiliki latar belakang genetic yang serupa, yang dapat dihasilkan dalam seleksi adaptasi virulen populasi pathogen (IRRI, 2010)
Virus kerdil rumput penyebarannya tidak menimbulkan masalah. Penyakit ini menjadi masalah serius ketika wereng coklat meledak tahun 1975 sampai 1977 di Indonesia. selama peledakan sporadic penyakit dapat menyebabkan kerusakan serius dalam areal terbatas. Contoh, kehilangan hasil lebih tinggi ketika infenksi terjadi awal musim (IRRI, 1983)
Penyakit mempengaruhi semua stadium pertumbuhan tanaman padi. tanaman yang diinfeksi dapat hidup sampai masak, tetapi stadium yang sangat bernilai adalah terbentuknya anakan dan pada stadium ini kalua diinfeksi tidak akan menghasilkan malai.
Di Indonesia untuk pertama kali gejala penyakit kerdil rumput ditemukan di Bogor pada tahun 1967. Pada tahun itu di seluruh Jawa Barat penyakit ini hanya terdapat secara sporadis. Di Jawa Tengah kerdil rumput menjadi makin penting dari tahun 1969 sampai tahun 1971. Pada tahun 1971 lebih dari 8.000 ha padi di Tegal dan Klaten terjangkit. Meskipun kemungkinan kerusakan termasuk diakibatkan langsung oleh wereng coklat. Meningkatnya kerdil rumput berhubungan erat dengan tingginya populasi wereng. Percobaan penularan yang dilakukan di Bogor dengan memakai wereng coklat memperkuat pendapat bahwa penyakit disebabkan oleh virus kerdil rumput (Semangun, 1990).
Penyakit hawar daun bakteri (Bacterial Leaf Blight, BLB) sudah dikenal hamper di seluruh penanaman padi didunia. Xanthomonas campestris dikenal dua patovar bekteri penyebab penyakitnya dengan daerah penyebaran yang berbeda-beda. Patovar tersebut yaitu Xanthomonas campestris pv. Oryzae (ishiyama) Dye penyebab penyakit “Kresek” (bacterial leaf blight, BLB) dan Xanthomonas campestris pv. Oryzicola (Fang et al). Dye penyebab penyakit daun bergaris bakteri (bacterial leat streak) (CABI dan DEPPO, 1990).
Di Indonesia, penyakit ini mendapat perhatian di Jawa pada tahun 1984, pada saat itu penyakit yang baru ditangani dikenal dengan penyakit “kresek”. Tanaman yang sakit keras menjadi busuk, dan tingkat ini disebut sebagai “lodoh”. Hawar daun bakteri (HDB) merupakan penyakit bakteri yang tersebar luas dan menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit ini terjadi pada musim hujan atau musim kemarau yang basah, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang, dan dipupuk N tinggi < 250 kg urea/ha (Anonim, 2009)
PTungro dalam bahasa Filipina berarti pertumbuhan terhenti. Penyakit ini telah terjadi untuk beberapa tahun, tetapi virus awalnya dilaporakan di Filipina: tanamn padi pendek atau kerdil yang ditularkan oleh Nephotettix Bipunctatus Fabr.
Tungro merupakan salah satu penyakit yang paling merusak tanaman padi di negara Asia Tenggara. Epidemic penyakit terjadi sejak tahun 1960-an. Malai yang trerinfeksi jarang menghasilkan biji, bentuk biji pendek dan steril atau hanya sebagian terisi dengan bulir yang berubah warna. Bunga yang terserang mengalami kelainan dan malai terbentuk tidak sempurna (IRRI, 2004).
Penyakit tungro dapat menyebabkan jumlah anakan dan gabah bernas berkurang, sehingga tanaman tidak dapat mencapau potensi produksi. Kehilangan hasil akibat serangan penyakit tungro bervariasi, bergantung pada periode pertumbuhan tanaman saat terinfeksi, lokasi dan titik infeksi, musim tanam, dan varietas (Widiarta, 2005).